Kang Dedi Mati Suri Relasi pers Antara Viralitas dan Verifikasi

DIAN POS - Kabar Aktual

Selamat Berkunjung Dilaman - DIAN POS - Kabar Aktual

Kang Dedi Mati Suri Relasi pers Antara Viralitas dan Verifikasi

Sabtu, 05 Juli 2025, Juli 05, 2025
                                    Dokumen Istimewa
         
KARAWANG.DIANPOS.ONLINE.|  tengah era digital yang dibanjiri informasi, Dedi Mulyadi tampil sebagai figur publik yang pandai memainkan algoritma perhatian. Sosok yang akrab disapa Kang Dedi ini menjelma menjadi fenomena media sosial. Dengan konten sapaan pagi di pesawahan dan narasi lokal yang membumi, ia mampu mengumpulkan jutaan pengikut, dan jutaan lebih engagement.

Namun, di balik tepuk tangan netizen, muncul riak serius: relasi KDM dengan media massa kini merenggang. Bahkan, lebih dari itu, muncul kekhawatiran tentang arah komunikasi publik yang ia bangun, yang dianggap menggerus peran media konvensional.

Dalam sebuah forum terbuka, Dedi Mulyadi menyampaikan pernyataan kontroversial: “Di era digital, masyarakat dan pemerintah tidak perlu lagi bermitra dengan media.” Ucapan ini sontak memantik reaksi keras. Bagi banyak kalangan pers, ini bukan sekadar opini pribadi, melainkan pukulan telak terhadap eksistensi dan legitimasi media dalam ekosistem demokrasi.

Apalagi, pernyataan itu datang dari seorang kepala daerah yang dulunya dikenal dekat dengan awak media saat menjabat Bupati Purwakarta. Kala itu, narasi “Purwakarta Istimewa” yang melejit hingga level nasional tak lepas dari kerja keras ruang redaksi, bukan algoritma TikTok.

Kini, peta komunikasinya berubah drastis. KDM memilih jalur personal branding berbasis media sosial, menekan anggaran promosi hingga diklaim dari Rp50 miliar menjadi Rp3 miliar. Secara efisiensi, langkah ini mungkin patut diapresiasi. Tapi implikasinya tak sederhana. Pemangkasan anggaran informasi publik itu ikut ‘menghantam’ sumber pendapatan media lokal yang selama ini menghidupi pemberitaan pembangunan di daerah.

Bukan hanya soal uang. Ini tentang eksistensi. Tentang relasi. Tentang penghargaan.

Pernyataan Dedi Mulyadi dianggap melemahkan posisi media sebagai pilar demokrasi. Ia menyamakan media sosial dengan media massa, padahal keduanya punya perbedaan mendasar. Media sosial menawarkan kecepatan dan jangkauan luas, tapi minim verifikasi. Sementara media massa bekerja melalui proses jurnalistik, verifikasi, dan kode etik yang ketat.

Ironi pun mencuat. Seorang tokoh yang tumbuh lewat ekspos media, kini tampak mengabaikan peran mereka. Ini berbanding terbalik dengan pendekatan Presiden Prabowo Subianto, yang justru mengedepankan kolaborasi dan ruang dialog terbuka bersama jurnalis. Dalam 100 hari kerjanya, Presiden Prabowo mengundang insan pers untuk berdiskusi dan menegaskan pentingnya media sebagai penjaga kebenaran.

Langkah Prabowo seharusnya menjadi cermin bagi kepala daerah, bahwa membangun daerah tak cukup dengan eksistensi digital semata. Media bukan sekadar alat penyebaran informasi, tapi mitra strategis dalam membentuk opini publik yang berimbang.

Ini bukan serangan personal. Ini alarm etis.

Jika tak ada klarifikasi atau langkah rekonsiliasi, ketegangan bisa berkembang menjadi gerakan kolektif jurnalis yang merasa profesinya direduksi. Aksi-aksi solidaritas di Bekasi dan rencana demonstrasi di Karawang pada 7 Juli 2025 adalah sinyal awal. Bahwa luka ini bukan hanya lokal, tapi bisa nasional.

Pemimpin yang cerdas tahu kapan berbicara dan kapan mendengar. Pemimpin yang bijak tahu bahwa membangun jalan dan jembatan tak akan lengkap jika jembatan komunikasi dengan pers dibiarkan runtuh.

Sebab, informasi yang benar hanya bisa tumbuh di tanah yang subur oleh kepercayaan, bukan dibanjiri likes tapi miskin verifikasi."Tutup
     Dilansir Ulasberita. Click


Red

TerPopuler